Tentang Lahiran Anak Kedua

Setelah menuliskan melankoli yang menyerang di trimester dua dan tiga kehamilan di Oktober lalu, saya ngga menyangka jika tiga minggu setelahnya baby Kiwi diputuskan untuk melihat dunia lebih awal. Padahal masih banyak cerita yang ingin saya tuliskan dalam tema kehamilan kedua. Oh well, mungkin akan saya cicil. Kalo ngga lupa atau keburu males.

Saat kontrol di usia kehamilan 32 minggu, dokter sudah memberikan informasi mengenai jumlah ketuban yang ngepas. Indeksnya hanya 10. Saya diingatkan lagi untuk konsumsi air minum minimum 3 liter. Jumlah yang tidak terlalu sulit saat weekdays, tapi butuh banget perjuangan untuk dikejar saat weekend.

Karena sudah masuk bulan ke 7, saya dijadwalkan kembali kontrol lagi 2 minggu setelahnya. Berharap indeks air ketuban saya meningkat di usia 34 minggu, tapi ternyata malah turun menjadi 8. Syukurnya semua organ bayi sudah terbentuk dan bekerja dengan baik. Saya diberi waktu hanya 3 hari untuk memperbanyak makan dan minum oleh dokter Liva. Banyak minum untuk menambah cairan ketuban, banyak makan untuk mengejar berat badan janin.

Pada kontrol usia 34 minggu ini, kami membahas 2 skenario; jika air ketuban bisa meningkat, maka kehamilan bisa dipertahankan tapi jadwal SC dipercepat ke minggu 37, usia dimana kehamilan dianggap full term. Skenario kedua adalah jika air ketuban masih belum bertambah, maka saya akan diopname untuk diberi infus dan injeksi pematang paru. Jika air ketuban bertambah setelah treatment ini maka saya bisa pulang, meneruskan kehamilan hingga minggu ke 37 tapi harus bedrest. Tapi jika bahkan setelah opname, air ketuban tidak bertambah, maka baby Kiwi harus dilahirkan.

(Baca juga: Pilihan Dokter dan Rumah Sakit)

Hari Selasa, 30 Oktober 2018, saya, L dan cici F konsul ke dokter Liva. Air ketuban saya malah makin turun ke angka 6. Hari itu juga saya masuk rumah sakit untuk opname. Merasa kuat, saya masih nemenin L untuk registrasi kamar. Kenapa ditemenin? Soalnya bawa cici F, L suka senewen kalo cici F mulai pecicilan atau rewel.

Begitu selesai ngurus kamar dan ambil darah, saya sempet nunggu lama di depan meja registrasi/lab. Katanya kan bakal dijemput lagi, tapi ternyata ngga ada yang datang, jadilah saya, L dan cici F ke ruang bersalin sendiri.

Saat di ruang bersalin, saya langsung diinfus dan CTG. Lalu diberikan pematang paru yang jika dilihat dari namanya (dexamethasone) adalah obat yang biasa saya pakai untuk mengobati psoriasis. Efek samping dari pematang paru ini adalah gatal-gatal sebentar di vagina, kata susternya. Tapi yang terjadi di saya, selain vagina, pantat dan spot spot psoriasis juga gatal. Banget. They itched so bad sampai saya ngga tau harus ngapain dan jadinya cuma bisa uget uget kayak ulet.

Setelah beberapa jam di ruang bersalin, saya pun akhirnya bisa masuk kamar. Ceritanya sih istirahat, tapi susah banget buat tidur. Malam pertama saya di RS, saya hanya sendirian karena L harus pulang untuk nemenin cici F tidur. Injeksi obat pematang paru dilakukan 4 kali dengan jeda 12 jam setiap injeksi. 2 kantong infus ( 1 infus biasa, 1 cairan untuk ketuban) yang juga diinjeksi oleh 2 vitamin berbeda terus mengalir. Tangan saya sempat bengkak, 2 kali. sehingga infus harus dipindahkan.

Setelah 2 malam di RS, dan saya sudah pipis 30 menit sekali, L mencoba optimis dan menguatkan kalo ketuban saya kemungkinan besar bertambah. Saya sih siap siap dengan kemungkinan terburuk alias emergency SC. Bukan mengharap anak lahir cepat-cepat, tapi rasanya akan lebih baik untuk kesehatan mental saya jika saya sudah merasa siap untuk melahirkan.

Saya dikontrol oleh dokter Liva jam 11 siang. Hasil USG menunjukkan jika ketuban saya malah makin berkurang ke 3.8. Asupan cairan ternyata tidak sampai ke rahim saya. Tersangka terkuat adalah plasenta yang dalam kondisi kurang baik plus pengaruh psoriasis yang termasuk penyakit autoimun. Paling cepat saya dioperasi jam 4 sore, tapi saya menawar untuk dioperasi lepas magrib saja. Dokter Liva menyetujui karena kondisi janin masih bagus, pematang paru yang diinjeksi 4 kali dianggap sudah diserap optimal, dan kondisi ibu fit. Satu hal yang tidak bisa dijamin dokter Liva adalah kondisi bayi setelah lahir. Apakah bisa langsung masuk ruang bayi, atau harus ke NICU atau perina. Nevertheless, tim NICU lah yang dibook untuk stand by saat operasi nanti.

Setelah kunjungan dokter Liva selesai, saya dan L menghubungi keluarga. Lalu saya mellow dan nangis. Padahal saya sudah menyiapkan hati dan mensugesti diri bahwa ga apa-apa dilahirkan lebih awal. Kakak saya prematur 7 bulan dan sehat sampai sekarang. Tapi tetep aja mellow dan sedih. Saya keinget cici F, wondering would she be okay not being the only child anymore? Would she feel okay? same old concern yang pernah saya tulis juga.

(Baca juga: Melankoli Kehamilan Kedua)

Well, fast forward to persiapan operasi. Saya dijemput perawat selepas solat magrib. Ganti baju ke gaun operasi, lalu didorong ke ruang operasi. Sempet nunggu lama di selasar karena dokter Liva lupa kalo janji operasi jam 6.30, bukan 7.30. Sebelum masuk ruang operasi saya udah ketemu duluan sama dokter dan suster anestesi, sepertinya saya diinjeksi semacam obat penenang dan obat mual.

Saya ngga bisa mengingat disuruh duduk untuk suntik tulang belakang, prosedur normal untuk bius setengah badan. Pun ngga bisa inget saat-saat operasi. Saya mengingat samar-samar ketika baby kiwi keluar, dia menangis (Alhamdulillah) dan ditempel sebentar di dada (atau pipi?) saya. Lalu segera diboyong oleh suster untuk dibersihkan dan screening awal. IMD? apa itu IMD? Saya kemudian kembali tenggelam di bawah pengaruh obat bius. It was like I didnt undergo the operation at all. Maybe it is what they say a gentle birth, saking gentlenya saya ngga ngerasa udah melahirkan.

Sadar-sadar saya sudah di ruang pemulihan. Diberikan selimut penghangat dan satu botol infus yang berfungsi sebagai obat penahan sakit. Dokter Liva sempat menghampiri saya, menceritakan apa yang beliau lakukan saat membedah saya. Dan untungnya baby Kiwi langsung masuk ruang bayi, tidak ke NICU atau Perina. Beratnya yang 2.4kg dinyatakan cukup untuk bayi yang di dalam rahim hanya 35 minggu 1 hari. Fungsi organ tubuh berjalan baik. Alhamdulillah.

Saya kemudian didorong lagi oleh suster ke ruangan jam 10 lewat, suster sempat memanggil keluarga saya di ruang tunggu tapi ngga ada siapa-siapa. Saya sempet nyeletuk “ya sus, bayinya udah keluar mah saya ditinggal”. Malam itu, saya tidur dengan sangat tidak nyaman karena harus terlentang, dan pinggang plus kaki saya rasanya pegel pake banget.

(Baca juga: Cerita Lahiran Ketiga)

Keesokan harinya, saya baru tau jika cici F sudah melihat adiknya dan nyaris ga mau pulang. Bagaimana pemulihan pasca operasi? Waaay slower than the first sectio. 36 jam setelah operasi baru bisa duduk dan jalan. Tidur miring baru bisa saya lakukan saat baby Kiwi sudah berusia 6 hari.

Informasi baru lainnya, ternyata baby kiwi diberikan susu formula langsung setelah lahir karena gula darah rendah. ASI saya sendiri belum keluar, dan yang paling menyenangkan adalah dokter dan susternya menyemangati saya untuk tetap rileks dan berkata wajar jika belum keluar, biasanya keluar di hari ketiga-kelima.

All in all, saya menghabiskan 6 hari di Rumah Sakit. 3 hari pre sc, dan 3 hari post SC. Operasi SC kali ini tidak semengerikan ya pertama, mostly because I barely remember the process, while the post op is something that I just have to endure.

How much it cost? 43 mio for me and 7 mio for the baby. Kalo saya ga ada treatment dulu, costnya berkurang sekitar 10mio. Is it worth it? Considering the service, painless operation, and how they handle my preemie baby..it sure is.

Love,

  • November 13, 2018
  • 8