Intimidasi ASI

Saya ngga tau sih, menulis ini bakal terlalu cepat atau ngga. Soalnya baru sebulan setengah jadi ibu menyusui dan ibu pumping setelah terakhir menyusui September 2016 lalu. Tapi yah, daripada cuma jadi bahan stress mending saya tuangkan disini.

Pengalaman menyusui anak pertama 2,5 tahun lalu selain memberi pelajaran juga (sepertinya) memberi benih ketakutan. Cici F hanya saya susui 3 bulan saja. Why? Cici F nursing strike, lalu produksi ASI saya menurun drastis karena stress belum dapat bibi. Dan salahnya, saya ga pumping dari awal menyusui. Satu bulan setengah baru mulai nabung, dan saya ga sengotot itu buat pumping. Pas masuk kantor, saya cuma bisa pumping 25ml dalam satu sesi. Dimana liat hasilnya aja bikin saya makin senewen dan stress.

Akhirnya Cici F resmi mengkonsumsi full susu formula pada usia 4 bulan, 7 bulan ketauan intoleransi laktosa dan pindah ke susu PHP. Susu mahal? Iya, apalagi susu PHP dan dibawah satu tahun karena tanpa diskon. Tapi mungkin rezeki cici F bukan di ASI tapi di sufor, makanya meski harus spend millions per month untuk susu formula, tapi tidak mengganggu cash flow.

Wah, awal-awal cici F pakai susu formula, saya sempet stress. Takut dimarahin orangtua karena saya aja dikasi ASI sampai 2 tahun lewat, merasa bersalah karena denger cerita ina ini itu soal relaktasi, perang ASI vs Sufor yang sangat terasa tajam, sebutan anak sapi karena sufor dan lain lain cukup menyiksa. Sampai saya selalu skip artikel artikel bahasa indonesia soal ASI karena bahasanya terlalu menggebu-gebu. Saya selalu cari pranala dari luar negeri soal formula feeding saking ga percayanya saya terhadap sumber dalam negeri.

Meski sekarang tone ASI VS Formula ngga seseram dulu (atau mungkin masih, tapi saya ngga se-sensitif dulu), saya tetep cari referensi dari sumber luar negeri. Saat ini saya masih supplementasi Fath dengan formula. Pumping dan menyusui langsung masih dilakukan. Kenapa tetap di suplementasi? Karena saya bermasalah dengan supply ASI. Berbeda dengan saat menyusui cici F, supply ASI di minggu-minggu awal itu banyak sampai sering rembes tanpa minum ASI Booster. Sekarang, saya dibantu obat dari dokter, vitamin, konsumsi madu+jahe, kapsul daun katuk dan serentetan booster ASI, tapi tetap kejar-kejaran. Fath di usianya yang baru 7 minggu sudah minum sekitar 700ml per hari, diluar menyusu langsung. Hasil pumping? Masih mentok di 500-600ml. Sedih sih, tapi saya masih mencoba mensugesti diri bahwa ya ngga apa-apa. Pertumbuhan Fath, meski lahir prematur dengan berat badan di bawah 2,5kg, oke kok. Thanks to supplementasi.

Apakah ‘keharusan’ memberi ASI masih mengintimidasi? Masih! Dengan termin “mengASIhi’ yang lewat di caption-caption foto, seolah tidak memberi ASI berarti tidak sayang anak. Foto-foto freezer penuh dengan ASIP yang menggentarkan saya, dan anehnya tidak membuat saya terpacu, meski biasanya saya orang yang kompetitif. It doesn’t make me think “Dia aja bisa, saya juga pasti bisa”. It makes me feel small and incompentent.

Mungkin karena saya mencari teman seperjuangan. Saya mencari mereka yang sama-sama supplementasi dengan formula, memiliki isu low breast milk supply juga. Saya memerlukan afirmasi bahwa ini semua baik-baik saja, bahwa ngga apa-apa jika pumping masih kejar-kejaran, ngga apa-apa jika suplementasi dengan susu formula, ngga apa-apa jika bahkan pada akhirnya ASI ngga ada lagi dan harus berpaling pada susu formula. Saya percaya ASI itu rezeki dan rezeki setiap orang berbeda.

Sebetulnya yang memotivasi saya adalah membaca awal-awal perjuangan. Seperti di awal Mom Eliz, yang nunjukkin bahwa beliau pernah produksinya rendah tapi bisa stok banyak sampe pernah hasil pumping 1.8L sehari. Bahwa David juga diberikan formula di awal-awal kehidupan. Dan itu semua tidak apa-apa.

Perjalanan saya dalam per-ASI-an (semoga) masih panjang. Dan semoga saja supplynya makin meningkat.

Sekian curhat saya kali ini.

Love,

  • December 15, 2018