Tentang Kehamilan Kedua: Antara C-Sect dan VBAC

Saat saya menulis ini, kehamilan saya berusia 23 minggu. Baru minggu lalu kontrol ke dokter kandungan, dan sempat mengobrol soal opsi VBAC alias vaginal birth after caesarean. Waktu ketahuan hamil dan kontrol dengan dokter yang menangani persalinan pertama saya, beliau langsung bilang untuk pilih tanggal karena anak saya belum berusia 2 tahun saat ketahuan hamil, jadi memang menjalani kehamilan dengan mindset bakal caesar lagi nih. 

Lalu pas kemarin ke dokter Liva, saya iseng nanya tentang kemungkinan lahiran normal, dan beliau masih membuka kesempatan untuk mencoba lahiran normal. Yes, ada resiko gagal, kata dokter Liva sih 7% dari yang mencoba VBAC, tetap berujung dengan emergency c-section. Pun dokter Liva ngga bisa langsung menjamin saya bisa VBAC, karena masih harus dipantau di minggu ke 36. Dicek panggul dulu, posisi dan berat badan janin, plus kondisi ketuban tentunya. Selain itu juga kesiapan ibu, siap ngga nih lahiran normal. Soalnya, semakin ibunya siap ya semakin besar kemungkinan suksesnya.

Jujur, saya masih bingung mau memilih rute yang mana. Pengalaman persalinan pertama yang penuh drama dengan induksi, kontraksi 28 jam dan mentok di bukaan 3 menuju 4, epidural yang gagal, bikin saya berpikir ulang untuk menempuh jalan yang sama. Apalagi karena sudah pernah caesar, so I know what to expect. Kalo saya lahiran normal, pengalaman saya hanya sampai kontraksi aja. Belum lagi 7% kegagalan VBAC, epidural yang indikasi gagalnya 2% aja saya kena haha. Soalnya sayang aja ya akan udah mau VBAC terus gagal

Dokter Liva ngga langsung meminta saya memutuskan, saya juga bilang kalo saya masih mau mikir-mikir dulu. Kemarin sih saya sempat nyeletuk juga, kalo anaknya ngga ngajak alias ngga ada mules sampai waktu tertentu, ya udah c-sect aja, lahiran normal hanya kalo anaknya ngajak keluar alias udah ngasih tanda-tanda mules. Si dokternya ketawa sambil bilang setuju. Tapi Dokter Liva menegaskan juga bahwa dia oke dengan dua opsi itu, terserah ibunya mau memilih yang mana, jika mau lahiran normal yuk ditungguin prosesnya, jika mau c-sect juga ayo. Insisi bisa dilakukan di tempat yang sama karena plasenta ngga menutup jalan lahir (hingga weeks ke 23 ini ya). Ah super love dengan dokter Liva karena pembawaannya yang santai tapi penjelasan yang super detail. 

Sekarang saya sudah mulai cari-cari info tentang VBAC, liat dari sisi medisnya plus pengalaman ibu yang VBAC. L sendiri sepenuhnya menyerahkan ke saya soal metode lahiran ini, karena ya mungkin dia belajar dari persalinan pertama. Plus, it’s my body, I know my own limit. Ya masa, saya yang ngelahirin, L yang ngatur kudu c-sect atau normal. 

Buat saya sendiri, tantangan terbesar dalam persiapan mental VBAC sebetulnya adalah bagaimana mengubah mindset. Setelah mengkondisikan diri akan c-sect sampai dengan pedenya milih tanggal, ada kemungkinan untuk VBAC cukup menggoyahkan iman haha. Bikin dilema karena satu sisi pengen nyobain lahiran normal tapi takut, mau c-sect lagi juga bukan berarti tanpa resiko. Untung saya masih punya 15 – 17 minggu lagi untuk berpikir. 

Belajar dari persalinan pertama yang waktu itu saya menjadikan lahiran normal sebagai sesuatu yang ideal, tapi malah jadi salah satu sumbu baby blues. Lahiran kedua ini saya mau pasrah aja deh, c-sect lagi hayo, lahiran normal juga monggo meski yang ini saya masih mengumpulkan kekuatan mental. Yang paling penting adalah bayi sehat ibu selamat. No matter what the delivery method is.

Untuk menutup tulisan ini, saya punya quote menarik dari dr. Liva:

Melahirkan itu seperti sebuah perjalanan, bisa lama, bisa cepet. Tapi yang penting kan tetep sampai. Jadi ya dinikmati aja. 

See you on another post, 

  • August 15, 2018