The Daddy Issues
Akhir akhir ini rasanya sering banget baca bagaimana para Ayah di-encourage untuk ikut terlibat langsung dalam pengasuhan anak. Beberapa artikel menyebutkan peran penting kedekatan ayah dengan anak bagi pertumbuhan jiwa si anak nantinya. Termasuk tulisan rekan saya, Mak Farida tentang pentingnya peran ayah.

Baca juga tulisan parenting lain dari Kelompok Raisa:
Dengan begitu banyaknya artikel dan juga sharing post di media sosial tentang kedekatan ayah-anak ini saya yakin pasti banyak juga yang udah baca dan tau tips dan pentingnya kedekatan ayah dan anak, but I want to explore the ‘why’. Kenapa sih ayah harus di-encourage untuk dekat dengan anak, kenapa bukan dengan kesadaran sendiri? Ada apa dengan ayah sampai pakar parenting menginfokan dampak kedekatan ayah dan anak? Kenapa ayah dan anak kadang seperti berjarak?
Mind you, this is only based on my own observation. Didn’t want to generalize all the dads, but this is only my take on why dads seems so far away with their children.
Jarak, literally.
Ada beberapa kondisi yang mengharuskan ayah berjauhan dengan keluarganya. Biasanya sih ya karena tuntutan pekerjaan atau pendidikan. Menjalani hubungan keluarga beda kota atau bahkan beda negara pasti berat. Pacaran aja yang hanya melibatkan dua orang, kalo LDR pasti ribet banget kan. Apalagi kalo sudah menikah dan memiliki anak. It will be harder. Ada beberapa opini yang menyerukan supaya anak-istri ikut suami kemana pun, tapi kan ngga bisa segampang itu juga kali, apa kabar para pelaut atau pekerja di rig lepas pantai? Ya kali mau bawa keluarga ke tempat kerja.
Jarak secara fisik ini memang menjadi salah satu dinding tinggi dalam isu kedekatan ayah dengan anak, karena si Ayah tidak bisa physically being there untuk melihat tumbuh kembang anak. Tidak bisa ikut serta menyaksikan kelucuan dan segala tingkah polah anak sehari-hari. Tapi menurutku jika penyebabnya hanya karena jarak yang jauh, it will be easier to resolved kan? Dengan kecanggihan teknologi, plus makin terjangkaunya pulsa telepon, komunikasi jarak jauh antara ayah dan anak bisa dilakukan nearly anytime anywhere. Yang menjadi isu selanjutnya adalah apakah ayah dan anak mau menyisihkan waktu untuk berkomunikasi dan bonding secara interlokal atau internasional ini.
Pola asuh
Banyak generasi saya atau generasi di atas saya, tumbuh dengan model keluarga tradisional dimana ayah akan sangat sibuk di luar rumah, dan menyerahkan semua pengambilan keputusan domestik ke ibu.Pun tugas-tugas yang berhubungan dengan the children’s well being, dari mulai memastikan apakah anak sudah makan apa belum, ambil rapot di sekolah hingga interaksi anak dengan teman-temannya, itu semuanya ada total di tangan ibu.
Interaksi yang lebih sering dengan ibu dan pengambilan keputusan (mengenai anak) yang lebih banyak terlihat didominasi ibu akan membentuk pemikiran di anak laki-laki (yang akan menjadi ayah) bahwa pertumbuhan anak is not my business. Ini adalah akar yang sulit tercerabut. Apalagi ketika si ayah pun tidak terlalu dekat dengan anak.
(Baca juga Choices, Choices: Memilih Menitipkan Anak)
Saya punya keyakinan bahwa pola asuh dan family values adalah hal yang diturunkan. You take part of your parents’ parenting style and family values, your spouse also take his/her, then you modify it and bam, you got your own parenting style and family values.
Jadi, akan sangat lumrah jika sekarang ayah-anak tidak dekat, maka anak pun akan menjadi ayah yang secara emosional berjarak dengan anaknya nanti. Tapi bukan berarti lingkaran setan ini tidak bisa dihentikan. Selain keinginan dari si ayah, ibu pun bisa memfasilitasi kedekatan ayah anak dengan banyak banyak memberikan kesempatan. Karena biasanya tipe ayah yang seperti ini, mereka mau bonding dengan anak, tapi ngga tau caranya gimana simply karena mereka ngga punya contoh.
Image
Hidup di sebuah masyarakat yang kental dengan aroma patriarki dan anggapan bahwa anak adalah urusan ibu membuat para lelaki yang sudah menjadi ayah memiliki keengganan untuk terlibat langsung dalam pengasuhan anak.

Ada yang mau dan rela hands on sama pengasuhan anak, tapi orang sekitar masih aja bawel. Ada yang bilang daddysitter lah, STI lah, dan lain-lain. Hal ini menjadi sulit karena masyarakat kita memang kepo dan kadang tak tahan untuk berkomentar terhadap kehidupan orang lain. Padahal kan bikin anaknya berdua yah, ngurusnya juga harus berdua dong.
Mengubah image bahwa anak bukan hanya urusan ibu tidak semudah membalik telapak tangan atau menulis posting blog. Tapi saya percaya, overtime, kita akan bisa menerima dengan mudah dan menganggap biasa ayah-ayah yang membawa anaknya jalan jalan tanpa ditemani si ibu atau mengurus anaknya sendiri ketika ibunya sibuk bekerja atau meminta me-time.
Kenapa bisa? Karena akses informasi yang terbuka lebar dan tombol share di media social membuat gaung bonding ayah – anak itu penting dan perlu dilakukan. So keep sharing those parenting articles, peeps!
Over and out,
