The Playlist Series – Rollercoaster Patah Hati

Prolog

Berawal dari ngoprek email lama, saya kebetulan stumbled into this post. Dulu saya blogging di posterous dan selalu post via email jadi jejaknya masih terekam baik.

On to the post, setelah membaca ulang beberapa posting dari blog lama saya pikir ada beberapa yang bisa dipost ulang for the sake of memories dan betapa saya pernah secetek itu. Beberapa di antaranya adalah posting bertajuk Playlist ini. Jadi ceritanya ini adalah tulisan yang either terinspirasi atau mengingatkan saya pada suatu topik.

Akan ada beberapa post ulang dari blog lama dengan minimal editing dan ada juga posting baru nantinya dalam series ini. Semoga saja series yang ini lebih konsisten yak ??.

So, happy reading ?


#nowplaying : Poison  – Every Rose Has Its Thorn

Though it’s been a while now
I can still feel so much pain
Like a knife that cuts you the wound heals
but that scar, that scar remains

Tulisan saya kali ini sebetulnya terinspirasi setelah saya nonton 500 days of Summer. Film yang (menurut saya) ceritanya ngga terlalu ringan itu membuat saya berpikir banyak tentang keadaan-keadaan individu setelah putus.

Ada yang bilang ‘broken relationships are always hurting both parties’, saya pun setuju dengan itu. Broken relationships memang bisa jadi hurtfull situation bagi kedua belah pihak. Yang ninggalin atau yang ditinggalin. Saya pernah mengalami keduanya. Been there, done that, got the t-shirt. Dan saat ini saya berharap supaya tidak perlu mengalami fase-fase sialan itu lagi. Kenapa saya bilang fase-fase sialan? Karena di fase-fase pasca putus itu rasanya capek luar biasa. Seperti mengalami PMS terus-terusan.

Disadari atau ngga, kebanyakan dari kita melalui proses yang hampir sama setiap kali putus. Saya merasakan itu. Setelah saya ingat-ingat kembali, fase yang saya lalui hampir sama setiap kali saya putus cinta sama pacar. Saya pun menyadari bahwa orang lain (setidaknya orang-orang terdekat saya) juga memiliki fase-fase yang hampir sama. Hal yang membedakan cuma berapa lama waktu yang dihabiskan untuk menjalani fase-fase tersebut.

Apa saja sih fase-fase itu?

 

Fase pertama adalah fase dimana kita sangat sakit hati dan rasanya sangat sedih. Tentu saja ini terjadi tepat setelah kita putus dan beberapa waktu ke depan.  Di masa-masa ini biasanya stok tisu akan berkurang banyak plus mata bengkak karena menangis setiap malam. Tidak lupa juga selalu bertanya-tanya dalam hati kenapa bisa putus dengan si mantan pasangan. Jika dalam posisi yang ditinggalkan, kita bertanya-tanya apa yang salah dari hubungan yang sudah dibina selama ini, namun jika dalam posisi meninggalkan maka kita justru sedikit menyalahkan diri sendiri atas keputusan menyakitkan itu.

Fase menyakitkan ini juga bisa membuat keuangan menipis karena keinginan untuk membeli coklat, es krim dan DVD-DVD drama meningkat. Alasannya? Apalagi kalo bukan untuk meningkatkan kadar phenyethylamine dalam tubuh supaya setidaknya bisa merasa cukup bahagia plus merangsang air mata agar terus keluar saat kita nonton film-film drama dengan sad ending.

Fase pertama ini menurut saya merupakan fase yang cukup berat. Bagaimana tidak? Semua perasaan cinta ke si pacar yang sudah jadi mantan berhenti begitu saja. Tidak mendapat tempat penyaluran ekspresi rasa. Apalagi kenangan-kenangan manis suka datang seenaknya di fase pertama ini. Percayalah, menjalani fase pertama (bagi sebagian orang) seperti menjalani hari-hari akhir di dunia. Tindakan dan ucapan irrasional pun kemudian muncul begitu saja. Tiba-tiba ingin mengubah orientasi seksual-lah, ngancem-ngancem ke mantan kalo kita bakal bunuh diri lah, curhat lebay di social mediasampe deretan tindakan atau ucapan lain yang kalo diingat-ingat lagi bakal bikin malu sendiri.

Tindakan dan ucapan irrasional ini kemudian akan mengantar kita ke fase kedua.  Fase dimana sepertinya kita menganut paham senggol-bacok dan sensitif terhadap semua hal yang berhubungan dengan frase mantan pacar.

Yup, fase kedua ini adalah fase marah-marah. Menyalahkan si mantan pasangan atas perpisahan itu. Merasa saya yang paling benar dan merasa bahwa si mantan pasanganlah yang paling banyak berbuat salah. Jika saya berada di pihak yang ditinggalkan, ini adalah masa-masa saya mengorek semua kekurangan mantan pasangan. Mencap bahwa mantan pasangan adalah orang yang paling bodoh sedunia karena berani-beraninya meninggalkan saya. Namun jika saya berada di pihak yang meninggalkan ini adalah masa saya menguatkan diri sendiri bahwa pilihan saya untuk meninggalkan si mantan pasangan adalah benar. Bagaimanapun dia tak cukup pantas untuk saya dan saya seharusnya bisa mendapatkan lebih baik dari dirinya.

Anyhow, dalam fase kedua ini saya sering merasa mendapat tambahan semangat. Mungkin karena kemarahan-kemarahan atas diri mantan pasangan harus disalurkan dengan cara menunjukkan pada dunia bahwa kita lebih baik dari si mantan yang nyebelin itu. Bagi beberapa orang (termasuk saya) kadar N-Ach alias need for achievement meningkat begitu saja di fase ini.  Apalagi kalo berada di pihak korban alias orang yang diputusin, si N-Ach ini ikut mempengaruhi di berbagai bidang, dari mulai appearance sampe bidang akademik. Fase marah-marah bisa membuat saya yang tidak pernah dandan berlama-lama di depan kaca untuk permak muka, temple ina-ini-itu supaya saya merasa lebih cantik dan berharap dia menyesal melepaskan saya. Fase marah-marah ini juga bisa membuat saya makin rajin belajar, supaya di next exam nilai saya lebih bagus dari dia (seandainya si n-ach ini terus meninggi, rapot saya pasti bisa lebih bagus :D) .

Fase ketiga adalah fase denial. Setelah si emosi setengah negative dan setengah positif di fase kedua mereda, kemudian tiba saatnya saya denial abis-abisan. Biasanya sih saya merasa bahwa kami masih bisa bersatu dalam ikatan cinta (yep, I know, it’s cheesy).  Saya tidak mau mengingat bahwa dulu hubungan kami sudah sampe pake titik terendah yang tidak bisa dibangkitkan lagi. Saya tidak mau mengingat luka saya atau dia yang masih basah karena perpisahan kami atau karena perlakuan-perlakuan tidak menyenangkan saat kami masih ada dalam sebuah pertalian. Saya mengingkari fakta bahwa seharusnya tidak ada cerita lain setelah mencapai titik.

Si denial ini kemudian akan mendorong saya untuk mencari 1001 cara untuk balikan dengan si mantan, meneruskan kembali kurva semrawut yang pernah digambar bersama-sama. Cara yang ditempuh bisa jadi cara biasa-biasa saja, senyum saat pas-pasan, making small talk dengan menyelipkan impresi “I miss you, please come back to me” disana-sini, atau dengan cara luar biasa, menyembah dan mengiba pada si dia untuk balik lagi pada kita.

Fase ketiga ini bisa jadi satu titik penentu sih apakah saya akan kembali dengan dia atau menikmati kesendirian saya. Ada beberapa pasangan yang bisa sukses melewati fase ketiga tanpa harus kembali pada broken heart rollercaster yang sama, tapi banyak juga pasangan yang kemudian harus menaiki rollercoaster patah hati untuk kesekian kalinya. Dengan kata lain, tingkat keberhasilan hubungan CLBK dalam fase ketiga ini berada below the curve. Kenapa? Alasannya mungkin kompleks, tapi percayalah keputusan untuk balikan lagi berdasarkan denial, bukan karena pemahaman penuh yang diiringi usaha agar semuanya bisa baik-baik saja, akan membuahkan hasil akhir yang tidak memuaskan, dengan kata lain : PUTUS lagi.

Fase keempat, fase terakhir. Fase menerima bahwa segalanya harus berjalan seperti ini. menerima bahwa jalan yang biasanya ditempuh berdua, hanya bisa ditapaki sendiri. Fase ini akan membawa kita pada ketenangan dan ketentraman. Fase dimana saya sadar bahwa saya sudah move-on dari rasa sakit hati dan tidak percaya bahwa salah satu orang terdekat itu sudah kembali pada status semula sebelum saya jadian dengannya. We’re back to square one. Dari teman kembali berteman, dari tidak saling mengenal kembali tidak saling mengenal(?).

Di fase ini, saya sudah menyimpan semua kenangan dia di sebuah kotak terkunci di ujung lemari. Meski mungkin untuk beberapa orang (kasus) ada yang memilih untuk membakar atau membuang segala benda kenangan itu. It doesn’t matter actually, we are all have different ways to cope right?

Fase legowo ini kemudian memberi saya kode bahwa saya sudah boleh turun dari rollercoaster patah hati dan mendaki rollercoaster-rollercoaster hidup berikutnya, dan bukan tidak mungkin saya langsung antri untuk menaiki rollercoaster jatuh cinta.

Pada akhirnya, setelah fase-fase ini terlewati, setelah diamuk perasaan yang kadang berada di titik-titik ekstrim, saya bisa menarik nafas lega dan tersenyum untuk menghadapi hal-hal lain yang diharap mampu memberi warna lain.  Meski kadang saat saya sudah ada di rollercoaster yang lain, saya akan menengok ke belakang. Ke rollercoaster patah hati itu.

 


  • December 25, 2016
  • 1