Jangan Jadi Tukang Bully, Yuk!

         ? Don’t know what I’ve become, when you walk out. You were too far away to see the fall out* ?

Akhir akhir ini cukup rame berita soal bullying. Mulai dari bully mahasiswa berkebutuhan khusus, bully di Thamrin City, sampai bully yang menimbulkan korban jiwa. Writing this post is really personal for me, as I was the victim survivor myself, even though there is many coverage about bullying nowadays, but not many spoken about its long term effect. Pola yang saya lihat sekarang adalah bully – pelaku ketahuan – dihukum – pejabat bilang tolong awasi – lalu menguap begitu saja.

Mari kita kupas bullying ini pelan pelan, mengenal lebih dalam meski (tetap saja) masih di permukaan.

What is bullying? 

Kita mengenal bullying dengan bahasa sederhana, yakni mengolok-ngolok, mengejek, mengganggu secara fisik; dijegal, didorong dan dikerjain macem macem dan lain-lain.

The definition of bullying is when an individual or a group of people with more power, repeatedly and intentionally cause hurt or harm to another person or group of people who feel helpless to respond. Bullying can continue over time, is often hidden from adults, and will probably continue if no action is taken.

Definisi di atas saya dapat dari National Centre Against Bullying, sebuah organisasi anti bullying di Australia. Dapat dipahami bahwa bullying dilakukan dengan berulang dan berniat untuk menyakiti seseorang yang powerless. Jika hanya dilakukan satu kali atau mutual disagreement antara mereka yang punya power yang sama maka itu tidak termasuk bullying.

Bullying ini banyak macemnya, bisa secara verbal yang diutarakan langsung pada survivor, atau fisik, dimana bully menggunakan badannya atau salah satu anggota tubuh untuk melakukan kontak fisik pada survivor, relational atau merusak reputasi survivor, atau bisa juga cyber bully – satu fenomena tersendiri yang worth another blog post-.

Sedihnya, kadang kita pikir yang kita lakukan hanya becanda, but when the jokes repeated over and over, it’s not that funny anymore. Apalagi kalo survivor merasa powerless atau ngga bisa say anything back. So when you think that you overstepped the line between joking and bullying, take a step back, analyze what you say and what you really intent to do, and ask for forgiveness. Jangan cuma bilang kalo temen yang baru kamu candai itu baperan!

Where bullying can happen?

Bullying memang identik dengan anak usia sekolah. Tapi faktanya ini bisa terjadi di mana saja, dengan setting apa saja. Anak TK ngga kenal bully? Yakin? Ada kok bully verbal di antara anak-anak TK yang baru belajar berteman. Usia SD-SMP-SMA-Kuliah? Jangan tanya lagi. Gaya jalan beda aja bisa jadi bahan bully.

Di lingkup kantor pun ada bully kok. Verbal dan relational bullying ini yang paling santer terjadi di kantor, meski kemudian dianggap sebagai office politics, biar kedengeran gaya padahal itu sebenernya bullying. Ngga semua orang dewasa itu tough and can counter back any ‘office bullying moves’ some choose to leave the companies than staying to be ridiculed at. Si bully ini biasanya punya pangkat tapi has minimum achievement or skills. Yang punya pangkat dan kemampuan mah udah lebih sibuk mengejar skills lain atau promosi berikutnya.

Di lingkup keluarga juga ada dan bisa terjadi. Bullying yang ini, biasanya dilabeli dengan “oh mereka lagi berantem doang kok” atau “ini cara mendidik”. Sedih ya. Bullying di lingkup keluarga bisa dilakukan bukan saja antara kakak-beradik, tapi juga antara anak-orangtua, suami-istri, kakek-nenek ke cucu atau paman-bibi ke ponakan. It can happen no matter how close you are related.

Why bullying happen?

Dari apa yang saya baca, bullying terjadi karena termotivasi oleh envy alias sirik, adiksi terhadap kelakuan agresif atau karena dengan membully yang lain membuat dia merasa kuat. Dalam lingkup keluarga bisa juga karena yang membully merasa frustasi karena suatu hal kemudian melampiaskannya kepada anggota keluarga yang dirasa paling powerless. Dalam bahasa Sunda, itu disebut ‘meupeus keuyang’. Frustasi si bully terlampiaskan, survivor harus berjuang sendirian.

Alasan bullying memang banyak, but what I can see at the very core is because they can’t accept diversity. Ngga bisa terima ketika ada orang yang berbeda dengan dia, baik secara gaya hidup, tindakan atau pemikiran. Karena ngga bisa terima, jadilah ada bully. Mulai dari awalnya nanya-nanya kepo, becandain terus main fisik dengan tampar atau pukul. Atau bisa juga ngomporin orang lain dengan intent menjatuhkan reputasi survivor dan securing their own reputation. Atau bisa juga making threat in the form of text messages or silent phone calls. Alternatifnya banyak.

Why bullying can happen over and over again, with the same subject and object? Due to neglect from the person of authority. Person of authority itu siapa? Bisa jadi guru kalo di lingkungan sekolah, bos atau HRD kalo di kantor, dan kepala keluarga atau orang yang dituakan jika terjadi di lingkup keluarga.

Pernah baca juga sebuah riset tentang pemain rugby dimana “the strongest predictor [of bullying] was the perception of whether the most influential male in a player’s life would approve of the bullying behavior”, jadi kalo sosok lelaki yang berpengaruh dalam kehidupan menerima atau menganggap normal perilaku bullying, bisa diprediksi bahwa si pemain juga bakal bully orang.

Faktor lainnya adalah bystanders, atau orang-orang yang bukan person of authority tapi ada disitu saat bullying terjadi dan tidak melakukan apa-apa. From my personal point of view, there is no such thing as innocent bystanders in bullying cases. When you are neglecting something as serious as bullying, you are part of the problems. Bystanders membuat satu ilusi dimana si bully ada di pihak yang benar, dan mendapat dukungan dari sekeliling.

Some of you, maybe asking why can the survivor speak for themselves and retaliate? Duh! Ngikut kasus bully mahasiswa ngga? Itu ngga kurang gimana dia retaliate tapi tetep aja dibully kan? The problem is not on the victim, its the bully.

Apalagi kalo bully dilakukan oleh orang-orang dari lingkaran terdekat. Where retaliating means another strike or simply because the survivor has been brainwashed. And that lead us on the effect of bullying.

What is the effect? 

Mungkin masih ada yang berpikir bahwa efek bully cuma selintas aja. Ya kan tadi cuma anak berantem biasa kan? Paling besok baikan lagi, paling cuma nangis-nangis dikit. Tadi juga bercanda doang kok. Paling cemberut bentar, ntar juga biasa lagi. Apa? dipukul? Ah, paling memar-memar aja atau pergi sekolah dengan cap lima jari di pipi. Sore juga udah ilang bekasnya.

Atau bisa juga diselesaikan dengan maaf-maafan. Padahal survivors sebetulnya hanya pengen ditinggalin sendiri and not really a type of forgive-and-forget person,  we just like to pretend that the bully doesn’t exist anymore. HA! Lalu si bully dan masyarakat merasa bahwa efeknya kelar begitu saja.

But the truth is, effect of bullying can lead into something bigger. Amanda Todd memilih bunuh diri setelah dibully. Ngga nyangka ya? The effect of mean words could trigger low self confidence, depression, anxiety, trauma, self harm and suicide.

Aksi pukul-pukulan mah udah pasti bisa menelan nyawa, seperti kejadian di Sukabumi yang sampai sekarang saya ngga berani untuk baca dan ikutin kasusnya. Kontak fisik yang keterlaluan parah memang akan ada instant effect. Luka-luka atau meninggal.

Tapi pernah kepikiran ngga sih, kalo bullying ini bisa berefek jangka panjang?
That the bully left something, maybe a little something or a big something, that affecting survivor’s self image directly.
Bahwa kata-kata yang bully ucapkan mungkin masih akan terngiang-ngiang bertahun-tahun setelah kejadian itu lewat. And the scene playing vividly in the mind of survivors like it just happened yesterday? Kebayang ngga sih, kalo apa yang dilakukan si bully ini kemudian bisa me-lead survivors to have serious mental illnes years after it happen? To stunt the survivors’ mental growth? And would the bully be responsible for it? Would they cover the bills for mental health treatment?

Sejauh yang saya tahu efek dari bullying ini memang besar dan seringkali tidak instan. Malah tidak menutup kemungkinan survivor akan berubah menjadi bully,  being a psychopath atau serial killer some years later. That’s why I urge you, who knows a survivor, or a survivor themselves, please look after each other, please support survivors in their dark days and when the dark thoughts seems so tempting. Even after years the bullying happened. Believe me, the scars are still there.

How can we prevent? 

Sudah kebayang kan efek bullying bisa parah? Bukan cuma selewat aja.  Yuk, kita cegah bullying ini agar tidak terjadi lagi.

Bagaimana caranya? Menurut saya, mulailah terima perbedaan. Jangan melulu harus seragam dan sama lalu merendahkan orang lain yang memilih hal yang berbeda dengan kita. Instilled this value to our kids. Diversity is beautiful. Diversity is good. Apalagi untuk hal-hal yang hanya akan mempengaruhi pribadi dia sendiri dan tidak mempengaruhi kita, why don’t we just learn to understand each other?

Yang kedua, be in a constant guard, jangan sampai apa yang kita ucapkan dan lakukan menyakiti orang lain berkali-kali apapun kedok yang ingin kita sematkan. Mendidik bukan dengan membully. Mendidik tidak perlu kasar. Bercanda tidak perlu keterlaluan dan mengulang-ulang bahan candaan yang sama.

Yang ketiga, Stop membandingkan diri sendiri dengan orang lain, lalu merasa harus jadi yang terdepan karena manusia bukan Yamaha.  Ingat, belittle others do not mean you empowered yourself. Di beberapa aspek, kompetisi memang bagus, tapi hidup bukan melulu soal kompetisi.

Yang keempat, Stop putting anyone in the pedestal,  jangan terlalu mengagungkan seseorang, dan menganggap apa yang menurut orang itu benar, pasti benar. Siapapun orang itu. Karena mereka masih manusia, dan pasti punya kesalahan. Especially if you are putting yourself in the pedestal. You are not the king of anything. Nobody need to bow down to you. Remember, respect is earned, not given.

(Baca Juga: Kenapa Harus FPI? Kenapa Harus Rizieq?)

Terakhir. Stop being the bystanders. We are not innocent when we are being quiet when bullying happen. Jika melihat ada yang dibully, yuk mulai lakukan sesuatu. Apalagi buat orangtua, jangan hanya mendiamkan ketika anak kita sendiri berulang-ulang merebut mainan temannya atau mendorong temannya berulang-ulang. Remind them that bullying is not respectable behavior. Pun di kalangan orang dewasa, jangan hanya diam ketika satu kolega dibully. Let’s take action!

To close this emotional post, for you, survivors, out there. Keep holding on! You are not alone. Don’t lose hope! We will keep going forward, we will keep surviving, full of scars, but we will survive!

Love,

  • December 15, 2017