Nostalgia Mudik
Sudah beberapa hari menjelang lebaran nih, untuk beberapa kalangan pekerja, Senin ini pasti sudah mulai libur. Saya? Masih harus nikreuh selama 2 hari lagi sebelum bisa libur lebaran. Hari raya Idul Fitri memang sangat lekat dengan tradisi mudik. Tak terkecuali bagi saya, setidaknya sampai sebelum menikah, rasanya tiap tahun pasti ada perjalanan mudik. Pernah sih, beberapa kali kedua orang tua saya memutuskan untuk berlebaran di rumah saja, tapi rasa-rasanya masih bisa dihitung jari.
Lahir dari orang tua perantau, yang untungnya merantaunya ngga lintas provinsi, saya terbiasa berganti-ganti destinasi mudik. Selang-seling antara Garut-Ciamis. Transportasi yang diandalkan tentu saja transportasi darat. Saat masih belum memiliki kendaraan pribadi, saya dan keluarga lebih sering menggunakan bus. Kami biasanya berangkat h-1, menunggu ayah saya yang entah kenapa dulu kalo libur lebaran selalu mepet-mepet. Satu tas jinjing besar dibawa ayah saya, saya dengan ransel hitam besar andalan, kakak saya dengan tas punggung, dan ibu yang membawa serta adik saya yang memang berbeda usia 10 tahun.
Kami berlima biasanya menggunakan bus dari Terminal Cianjur, jika sudah sangat penuh dan sama sekali ngga dapat tempat duduk atau tempat berdiri, biasanya kami memutuskan untuk pergi ke Bandung terlebih dahulu, dari terminal Leuwi Panjang, kami menyebrangi sebagian kota Bandung menuju terminal Cicaheum. Di terminal Cicaheum, barulah kami berburu bus jurusan Garut atau Tasik sesuai dengan tujuan mudik kami pada tahun tersebut.
Zaman dulu sih, terminal-terminal ini sangat padat ketika arus mudik dan arus balik. Ketika ada bus yang baru masuk terminal biasanya para penumpang sudah menyerbu dan rebutan kursi. Siapa yang biasanya dapat tugas untuk berlomba-lomba masuk bus duluan? Saya dan ayah saya. Seingat saya, semenjak saya punya adik, alias kelas 5 SD, saya sudah ikut-ikutan antri dipintu terminal, hanya bawa badan plus tas ransel saja. Saya kebagian untuk menelusup (Elah bahasanya menelusup) dari pintu depan, ayah saya dari pintu belakang. Kalo diinget-inget sekarang sih, kok ya rasanya serem juga, naik bus rebutan sama penumpang dewasa pas busnya belum berhenti total. Tapi dulu mah seneng-seneng aja, malah kesenangan itu berlipat ganda ketika berhasil dapat tempat duduk. Target kami saat itu kalo ngga jok tiga, jok dua depan belakang.
Jika opsi bus sudah ngga memungkinkan, ayah saya biasanya mencari dan bernegosiasi dengan angkutan elf. Maklum, supir elf ini biasanya mematok harga tuslah yang ampun-ampunan mahalnya. Seingat saya, naik elf saat mudik hanya kami lakukan menuju Tasik.
Baru setelah ongkos bus untuk kami berlima ngga beda jauh dengan biaya sewa mobil, bayar bensin dan supir, orang tua saya memutuskan untuk mudik dengan sewa mobil saja. Kalo ngga salah, kebiasaan ini dimulai saat saya kuliah. Jadi biasanya keluarga saya berangkat dini hari pada h+1, sampai di Garut jam 5 atau 6 pagi karena perjalanan dini hari biasanya ngga macet. Menginap semalam lalu lanjut ke kampung halaman ayah saya di ciamis. Malam harinya baru pulang lagi menuju rumah di kawasan puncak. Zaman kuliah dulu, saya biasa menamai perjalanan mudik ini ngukur jalan.
Dibalik mudik sendiri, selain kesempatan silaturahmi dengan keluarga besar ada beberapa hal sentimentil yang mengena banget di saya. Sejak saya kecil, setelah sowan ke saudara-saudara mama di beberapa kawasan di Garut, kami semua jalan-jalan ke daerah Pengkolan. Biasanya makan bakso dan/atau makan es krim. Dulu sekali, biasanya adik saya minta es krim soft serve di Toserba Yoma, lalu kami jajan bakso di tempat favorit. Tempat favorit ini berubah dari masa ke masa. Dulu ada kedai bakso di dalam pasar, lalu di pengkolan, lalu Mulang Sari yang di Ciledug. Kalo beberapa tahun belakangan ini sih, biasanya yang dituju adalah Mulang Sari di Ahmad Yani, Siliwangi, atau IBC.
Ketika di jalan menuju tempat beli es krim atau bakso, we usually talk. Bahkan ayah saya yang pendiam itu biasanya membuka pembicaraan and we talk about nearly everything under the sun. Spending time with your family sometimes become rare opportunity, apalagi sekarang saat kehidupan sudah membuat keluarga inti kami mencar-mencar. Well, terakhir keluarga kami menghabiskan satu hari penuh bersama saja itu Agustus tahun lalu saat family trip. Pernah sih berkumpul saat ulang tahun kaka, Januari tahun ini, tapi itu pun 12 jam saja ngga.
Hal lain yang juga sentimentil adalah kesempatan untuk bertemu dengan sahabat-sahabat saya dari zaman SMA. Orang-orang yang menyaksikan dan turut membentuk bagaimana seorang Gifta Alvina bertumbuh. Lebaran beberapa tahun lalu, kami sempat berkumpul, lalu pulang dari acara tersebut saya baru menyadari that I never laugh that hard, I never smile so much without them. It feels like they brought up the other side of me, the fun side of me that usually eclipsed by the more serious and quiet side of mine.
Dua tahun terakhir ini saya menghabiskan lebaran di Jakarta. Tahun 2016, saya melewatkan malam takbir di rumah sakit karena melahirkan baby F. Hari H lebaran, kami bertiga pulang ke rumah mertua yang memang sudah ramai dengan keluarga besar L. Baru bisa pulang ke Puncak rasa-rasanya saat baby F berusia hampir satu bulan.
Tahun 2017, sudah beli buah tangan untuk dibagikan ke keluarga, ndilalah baby F kena ISK alias infeksi saluran kencing sebelum lebaran. Demam sampai 40 dercel, dan sembuh pas malam takbir. Ngga mungkin juga kami memaksakan mudik, Jadi tahun lalu kami berlebaran lagi di Jakarta. Ke Puncak H+3 atau H+4 dan hanya menginap 2 malam karena terbentur jadwal masuk kerja lagi.
Tahun ini? Nanti saya cerita jika sudah terlewati ya ^^.
Hmm, menulis ini kok saya jadi mellow sendiri. Kangen mudik. I miss those time to spend with inner family member. Kangen makan bakso dan makan es krim bareng-bareng. Jalan kaki sambil ngobrol tentang apa saja yang terlintas di kepala. Kangen ngumpul-ngumpul sama temen-temen juga. Kangen ketawa lepas lagi seolah tanpa beban. Oh, those simpler times!
Kalo kamu, apa yang kamu kangenin saat mudik atau saat lebaran?
Cheers,