Menikah Itu Tidak Mudah

Hari ini, 12 September 2019, menandai 4 tahun pernikahan kami. Buat sebagian besar orang, 4 tahun pernikahan belum ada apa-apanya, tapi menurut beberapa ahli yang dilansir media online, usia 4 – 7 tahun pernikahan merupakan masa-masa rentan perceraian. Buat saya? Bertahan dalam pernikahan adalah pencapaian tersendiri.

Mengapa saya bilang pencapaian? Karena bertahan dalam ikatan pernikahan itu memang butuh usaha. Usaha yang lebih keras dibanding saat mempersiapkan acara pernikahan tentunya. Usaha yang menuntut energi yang cukup besar dan ketekunan. Karena menikah itu bukan sekedar main rumah-rumahan.

The Challenge

Tantangan terberat bagi saya adalah menaklukkan ego, merendahkan hati dan mengikhlaskan diri dalam berbakti pada suami. Memiliki penghasilan sendiri dan terbiasa menjadi independen kadang membuat saya lupa bahwa sesungguhnya semua tergantung izin suami.

Selain itu, saya dan L sama sama keras kepala. Sometimes we are not in the same corner, and need to face each other. Tapi pertengkaran-pertengkaran itu membuat kami lebih memahami satu sama lain. The important part is we always make up when we fight. Untunglah dari 4 tahun pernikahan hanya 3 pertengkaran yang saya ingat tentang apa, means only 3 significant fights. We disagree a lot, we fights like other couple do tapi berarti hanya ada 3 isu besar karena isu untuk disagreement lainnya saya lupa.

Tantangan lainnya adalah menyeimbangkan peran. Between being parents to our children, being a son/daughter to our folks, being brother/sister to our siblings, being uncle/aunt to our niece, being worker and employer as well and also being a partner in everything with each other. We are pulled into different directions everyday and most of the time we find it difficult to reach equilibrium.

What I Learn From My Marriage So Far

Selama 4 tahun pernikahan, saya jadi makin mengenal L. I know what makes him tick, I know where the grey area is and which line that is forbidden to cross. I know how to communicate effectively with him, eventhough sometimes I forget about it.

Saya belajar memahami bahasa cintanya. Tau kan teori 5 bahasa cinta? Ada act of service, giving gifts, words of affirmation, quality time and physical touch. It’s no surprise that we are different. His language is act of service, thus the mijitin-saya-nearly-every-night and how he wants me to prepare something for him. My language is actually words of affirmation, hence my annoying question of “kamu sayang aku, ngga?”.

Karena udah tahu bahasanya beliau, jadi saya masih merasa tetap dicintai (iya, saya memang butuh afirmasi. HA!) And I tried and still trying my best to show him my affection too.

Empat tahun pernikahan ini juga mengajarkan saya untuk compromise. Bukan untuk selalu mengalah atau sebaliknya harus selalu menang. But how we find the center point, titik yang bisa membuat kita nyaman tanpa merasa ditindas. And somehow we feel better and respecting each other too.

Menjalani empat tahun pernikahan ini juga makin menguatkan opini bahwa pernikahan itu tidak mudah. Ada banyak hal yang harus dilakukan dan dikompromikan agar bisa bertahan dalam satu komitmen. Apalagi we know that we are so different in nearly everything, but one thing for sure tho, he complement me well and vice versa. We complete each other in a sense.

So, until now, L, what was still is.

Love,

  • September 12, 2019