Setelah menamatkan Kindred Spirits-nya Rainbow Rowell, buku selanjutnya yang saya baca adalah American Gods.
Buku ini sebetulnya pertama kali terbit pada 2001 dan sekarang sudah diadaptasi ke serial televisi dengan judul yang sama.
Buku yang terdiri dari kira-kira 636 halaman cerita inti (it’s 657 pages including acknowledgement and all extras) ini sangat sulit untuk diidentifikasi genrenya apa. It is a mix of several genres. Bisa masuk fantasi, thriller, science fiction dan horor. FYI, buku ini sudah pernah memenangkan beberapa award juga seperti: Bram Stoker Award for Best Novel (2001), Hugo Award for Best Novel (2002), Nebula Award for Best Novel (2002), Locus Award for Best Fantasy Novel (2002), SFX Award for Best Novel (2002), Geffen Award (2003), Prix Bob Morane for roman traduit (2003).
Tema besar dari American Gods menurutku adalah pertempuran eksistensi antara Old Gods VS New Gods. Old Gods, yang datang ke Amerika (sebagai setting utama novel ini) di bawa oleh para worshippernya lalu kemudian perlahan-lahan ditinggalkan dan digantikan dengan tuhan yang baru; media,uang, teknologi. You name it lah. Segala kemudahan dan perkembangan zaman dianggap sebagai kompetitor bagi Old Gods.
Neil Gaiman pun mengambil preposisi bahwa setiap kepercayaan, memiliki personifikasi atau semacam wujud manusia dan eksistensi mereka sangat tergantung pada jumlah penganutnya. Berapa banyak yang mengingat mereka, meneruskan cerita tentang mereka dan memberikan sesajen untuk mereka menentukan keberlangsungan mereka. Makes sense, karena memang lambat laun satu kepercayaan akan hilang jika tidak ada yang mempraktekkannya sama sekali.
The Story – SPOILER ALERT
Dimulai dari pengenalan karakter Shadow, tokoh protagonis utama yang di penjara karena penyerangan terhadap dua orang. Shadow dideskripsikan sebagai orang yang kalem dengan perawakan badan yang tinggi besar. Not really a criminal profile yang sangar kasar gitu. Lebih ke mas-mas cool, kalem, datar yang suka ngegym.
Jadi, Shadow bebas lebih cepat dari penjara karena istrinya, Laura, meninggal dalam kecelakaan. Lalu Shadow pun pulang dari penjara untuk menghadiri pemakaman Laura, he left in daze yet didn’t feel anything.
Shadow swallowed. It occured to him that he had not cried yet – had in fact felt nothing at all. No tears. No sorrow. Nothing.
And with the strange twist of fate, lengkap dengan drama seputar penerbangan yang mana jadi kali pertama Shadow mengalami hallucigenic dream, Shadow pun akhirnya bertemu dengan Wednesday (and it was on a plane), yang kemudian menawarinya pekerjaan sebagai chauffer. Kalo di kita sih mungkin semacam asisten pribadi ya.
Awalnya Shadow menolak, karena dia udah punya pekerjaan di tempat sahabatnya. Tapi saat menghadiri pemakaman istrinya dia baru tahu jika pada saat kecelakaan, Laura was giving a blow job to Robbie Burton, sahabat Shadow yang juga ikut meninggal dan menjanjikan pekerjaan selepas Shadow keluar dari penjara. Mau tidak mau, akhirnya Shadow menerima pekerjaan dari Wednesday, dan baru setelah Shadow menerima pekerjaan tersebut, Wednesday menginformasikan full job descriptionnya.
You work for me now. You protect me. You transport me from place to place. You run errands. In an emergency, but only in an emergency, you hurt people who need to be hurt. In the unlikely event of my death, you will hold my vigil. And in return I shall make sure that your needs are adequately taken care of.
Lalu petualangan dengan Wednesday di mulai. Mereka berkelana dari kota ke kota untuk mengumpulkan dewa dewa lama. Ngapain ngumpulin dewa dewa lama? Ya buat bertempur dengan dewa-dewa baru dong ah, masa buat bikin arisan.
However, baru hari pertama kerja dan baru selesai pemakaman Laura, Shadow sudah sempat diculik oleh fat boy in the limo, dan here comes another branch plot: ada zombie-Laura yang datang ke Shadow. Eventful first day of work ya?
Dalam perjalanan dengan Wednesday, Shadow lebih banyak diem, dengerin cerita Wednesday dan melakukan semua yang disuruh Wednesday. Tapi Shadow pun take extra miles sih ketika ngeyakinin Czernoborg buat ikut sama Wednesday, dengan menantang Czernoborg dalam permainan dimana kalo Shadow menang, Czer harus ikut sama Wednesday, dan kalo kalah Czer tetep ikut sama Wednesday dan bisa menghantam kepala Shadow dengan palunya Czer. The result: Shadow kalah, tapi ngga langsung dihantam juga sih kepalanya karena kalo demikian ini buku mungkin cuma 100an halaman aja.
Selain ketemu Czer, Shadow juga ketemu Zorya bersaudara, Mr. Nancy, Jackal, Mad Sweeney, Mama-ji dan banyak lagi yang jika ditelusuri berasal dari beragam mitologi.
Loooooong story short. Wednesday mati ditembak saat berunding dengan New Gods, sesuatu yang membuat para dewa lama marah, mengingat Wednesday adalah penjelmaan sosok Odin, The All Father, dan para dewa lama ingin bertarung dengan dewa baru. But when Shadow held vigil for Odin’s death, dia kemudian melihat hidupnya secara keseluruhan, sampai ke pertemuan ibu dan ayah biologisnya, yang ternyata adalah Wednesday(!!)
Di saat itulah, skema permainan Wednesday terurai. Wednesday memang menginginkan perang antara dewa lama dan dewa baru karena peperangan berarti pembunuhan, he can eats on the killings and the war itself thus resurrect himself eventhough maybe in ghostly form, dan partner in-crime nya Mr. World yang ternyata bagian dari Norse Mythology juga dan sempat jadi partner satu selnya Shadow, Low Key Lyesmith, yes you got that right! Loki, who will feed on the chaos of the war.
Jadi yang seharusnya perang itu didedikasikan untuk Odin the all father, Laura (yang memang berkali-kali menyelamatkan Shadow) malah mendedikasikan pembunuhan Loki untuk Shadow. Mungkin gara-gara itu pula Shadow jadi punya kekuatan dewa.
My Take on The Book
Membaca American Gods ini bagai tersesat di sebuah labirin. Plot utama memang ketahuan dari awal, namun untuk mengisi plot tersebut Neil Gaiman banyak menyelipkan kisah-kisah yang nampaknya tidak berhubungan sama sekali, seperti kisah tentang Bilquis, yang hidup dengan memangsa (literally) pria yang bersetubuh dengannya atau tentang Ifrit, yang mencuri identitas orang lain setelah bersetubuh dengan orang itu.
(baca juga: Kindred Spirit Rainbow Rowell review)
Lalu ada kisah di dalam kisah, tentang sebuah kota yang masih berkembang bahkan ketika wilayah sekitarnya pelan-pelan mati. Ternyata di balik itu ada kobold yang harus membunuh anak-anak sebagai tumbal.
Karakter Shadow sendiri buat saya adalah seseorang yang ngga responsif tapi reflektif. Cocok sih sebagai medio cerita. As if we are Shadow himself. Tapi ya kurang greget. Haha. Buat kamu yang terbiasa dengan sosok hero yang ganteng, keker, berwibawa, you will feel that Shadow is blah!
Yang lebih menarik justru karakter Laura. Kenapa dia jadi pelindung Shadow? Rasa bersalah karena sudah ga setia? Atau kewajiban karena Shadow udah ngasi gold coin yang jadi penyebab dia ngga bisa terus mati?
Apart from that, buku ini cukup menarik untuk dibaca. Dan masih menarik untuk dibaca ulang just in case you missed the detail. Kan buku ini panjang dan kompleks jadi gapapa lah mau baca berulang kali juga. Oh iya, karena mengangkat soal kepercayaan, reader discretion is advised meski preposisi yang tadi saya bilang di awal memang logis.
See you on the next post ya!
1 Response
[…] (Baca juga: Review buku American Gods) […]