When you know, you know

L beberapa hari lalu menanyakan kenapa pada akhirnya saya mau menikah dan menikah dengan dia.
Beberapa waktu lalu, saat hubungan kami sedang mengalami turbulensi hebat dan sempat mendarat darurat, saya memang pernah berpikir bahwa menikah bukan prioritas dan urusan jodoh tersimpan di pojok belakang otak.

Ndilalah, pemikiran tersebut tidak bertahan lama. Ketika L datang lagi, it only takes me one month and 1523 km being apart instead of separated by usual distance (elah, kebagusan-kemayoran kan ga jauh, G), saya merasa yakin untuk menjatuhkan hati dan janji untuknya. Selamanya.

Saya berusaha untuk melakukan self-analysis dan memetakan mengapa pada akhirnya saya memilih mengatakan iya.  Saya memilah dari atribut positif yang dia punyai dan atribut negatif yang sulit dia redam.
Ya, dia sabar menghadapi saya tapi kadang grumpy, apalagi kalau manjanya datang. Ya, dia bisa membuat saya tertawa meski kadang selera humornya tidak sama dengan saya. Ya, dia berusaha untuk selalu membahagiakan saya meski tetap ada satu dua sikap yang buat saya mengeryitkan kening.

Kemudian saya mencoba untuk stripped down all the positive attributes, dan memikirkan all the worst possibilities that might happen.
And I ask myself, would I still love him? Despite all that?

Jawabannya mengejutkan saya sendiri. I still want to be him. To be by his side with his flaw and imperfection.

Dan lalu kenapa saya mau menghabiskan hidup saya bersama L? Itu semua terangkum dalam satu kalimat sederhana berjuta makna. Because I do, because I want to.

When you find the one, you know when you know. And I know now.

Sweetest regards,

His G.

  • May 28, 2015
  • 2