Wrapping Up 2018

Udah telat ga sih nulis refleksi tahun 2018? Apalagi sekarang Januari udah mau habis, tapi demi menyimpan kenangan tahun lalu, ngga apa-apa lah ya baru saya tulis sekarang.

Dua tahun belakangan saya biasanya flashback per bulan saya ngapain aja, kemana aja atau dapat achievement apa, tapi tahun ini saya bikin berbeda karena saya menghabiskan 35 out of 52 weeks of 2018 dengan suatu peristiwa yang sama. Oh well, the biggest question adalah apakah resolusi tahun 2018 tercapai? Ada yang iya banget, tapi mostly tidak tercapai. Mari kita review.

On blogging matters

Tahun lalu, saya punya cita cita untuk punya 2 post per minggu, sehingga di akhir tahun setidaknya saya punya 104 posting. Buat apa? Buat meningkatkan page views tentunya. Page view 2018 memang meningkat, hampir 4x lipat dari 2017, tapi apakah postingnya tercapai? Ngga. Tahun 2018 saya hanya posting 53 blogpost saja, itupun tidak semua posting organik.

Aktivitas perbloggingan yang dirasa sangat membantu adalah pas ikutan Blogging Collab dengan komunitas KEB, memaksa saya untuk menulis, bahkan untuk topik di luar zona saya. Plus memaksa saya untuk berhenti jadi silent reader.

Sayangnya, kesini-sini saya jadi jarang blog walking, jangankan meninggalkan jejak, lha wong bacanya juga ngga. One of the reason saya suka males blog walking adalah link blog yang saya temui mostly sponsored post. Makanya suka males, karena akhir akhir ini pengen baca posting yang daily life. Paling sering sih akses blognya annisast, grace melia, sama ratnadewi.

On Personal Development

Awal 2018, saya punya target membaca 52 buku dalam satu tahun, well..ini tidak tercapai. Saya baca 43 buku saja. Ugh. Hanya 9 buku lagi ya padahal. Terus niatnya mau bikin resensi buku juga di blog, tapi si #scriptake ini baru ada 3 kayaknya, American Gods, Paper Magician sama Look At Me aja.

On being more organized, saya konsisten pake expense tracker sampe Oktober. November – Desember – January saya lost banget. Ngga dicatet. Kalopun dicatet ya saya cuma rekap aja gitu, jadi ngga jelas juga posnya apa. To do list sih ngga begitu kepake karena uda ada mental list gitu apa aja yang mau dikerjain, syukur jarang missed. Cuma paling sering ditunda-tunda. Hiks, salah satu kebiasaan buruk padahal kan ya.

On skin care usage, I am ashamed to say that I’m a big failure on this one. Semenjak hamil, saya blas banget ngga pake skin care. Muka jadi kusam sih, tapi kebantu pregnancy glow hahaha. Meski tetep aja yes, penampilan ngga maksimal.

On family matters

Resolusi yang sangat tercapai adalah punya anak kedua. Alhamdulillah, keinginan yang ini diijabah Allah SWT. Saya hamil di bulan Maret setelah dapet false alarm di Februari. Seharusnya sih saya melahirkan di awal desember, tapi Fath harus melihat dunia 5 minggu lebih awal karena ketuban saya kurang. How’s life with 2 under three? Hectic, baby. Di rumah jadinya ada 4 batita. Yang paling besar cici F, 2 tahun 6 bulan, terus ada kembar A & N, 1 tahun 4 bulan, dan Fath si newborn. Hamdallah ada pengasuh ya, jadi kadang saya malah ngga ngapa-ngapain juga kalo siang. Tapi tetep ngga bisa tidur.

Family bonding is done exactly as planned. Plus karena ada cuti melahirkan tiga bulan, saya sama cici F jadi dekat banget. Dia tidur siang selalu dengan saya, ngga mau sama pengasuh. Sering nyariin saya juga. Tapi sekarang sih sudah dibujuk biar ngga terlalu nempel juga, soalnya cuti melahirkan saya udah mau abis.

Diet gadget gimana? Gagal kengkawan. Nonton iPad memang pas sebelum tidur aja sih sekarang, tapi karena ada bayi dan sulit sekali membagi perhatian, jam tidur cici F jadi berantakan sehingga screen time jadi tambah lama.

on personal level

Tahun ini saya bersyukur punya anggota keluarga baru. Meski tertatih saat hamil plus I have severe case of baby blues setelah melahirkan, but I’m still thankful for my babies. Pelajaran baru banyak saya dapatkan di penghujung tahun. Ada sektor yang harus diperbaiki dan semoga bisa dilakukan tahun ini. Saya jadi lebih mengenal diri saya sendiri di tahun ini. I know who I am, and I know I need to be the best version of myself.

Saya juga menyadari bahwa terkadang kita harus bisa tegas meski pada orang terkasih. Not for revenge or in taste-your-own-medicine style. But more to emphasize your point, apalagi kalo sudah tidak bisa didiskusikan lagi.

Saya sempat menyinggung soal baby blues, InsyaAlloh akan saya ceritakan di posting-posting berikutnya. Karena rasanya, bukan saya saja yang merasa demikian, so I think I need to write it up, for my own rememberance, a catharsis or some sort of therapy, and for others who suffer the same, because at least for me, it’s important to know that I’m not alone in experiencing those turbulence.

On that note, I bid you goodbye.

See you on other post.

  • January 30, 2019