Cerita Lahiran Ketiga: Persalinan di Tengah Pandemi
Ndilalah, ternyata persalinan ketiga ini dilakukan saat pandemi dengan janin kembar pula. Tentu saja jadi berbeda.
Dari awal kehamilan, saya sudah diwanti-wanti dokter kandungan saya jika janin kembar biasanya tidak sampai full term 40 minggu, dokter mentargetkan bahwa setidaknya kehamilan berlangsung hingga 37 minggu agar semua organ twinnies matang.
Saya pulang setelah CTG yang hasilnya apik dan diberikan penguat paru untuk janin karena berjaga-jaga takut lahir prematur. Dibekali juga oleh parasetamol 600mg untuk menangkal migrain parah.
Sesuai dengan rencana lahiran di minggu ke 37, saya pun direkomendasikan oleh dokter dan suster untuk tes swab. Hasil swab bisa berlaku 14 hari. Dokter Liva sih menyerahkan ke kita mau kapan tes swabnya yang penting di rentang minggu 35 – 36. Tapi sama susternya direkomendasikan secepatnya, jaga jaga takut harus ada tindakan.
Akhirnya saya tes swab di hari Selasa, 8 Desember 2020. Sempet mondar mandir ngurus administrasi test swab antara lab di dalam dan tempat testnya. Akhirnya bayar di lab dalam, lalu tes di tempat tes di halaman RS Mitra Keluarga Kemayoran. Saya pakai swab PCR regular dengan harga 900ribu saja dan selesai dalam 3 hari.
Hari Rabu, 9 Desember mulai terasa kontraksi palsu lebih sering. Sakit kepala juga mulai hebat sampai terbangun ketika tidur.
Kali ini saya CTG lagi, sudah ada kontraksi tapi memang belum teratur. Bayi sudah turun banget tapi belum ada bukaan sama sekali. Tapi, ya memang sudah rencana SC juga jadi sebetulnya posisi dan bukaan tidak terlalu berpengaruh.
Melihat kondisi saya yang sudah mulai kepayahan, dokter menyarankan untuk lahiran saja. Either malam itu juga, atau keesokkan harinya. Setelah berpikir dan telpon ibu dan kakak saya, akhirnya saya memutuskan untuk lahiran malam itu. Untungnya sudah swab dan hasilnya ternyata sudah keluar.
Saya kemudian diantar ke ruang rawat inap untuk menunggu operasi SC yang dijadwalkan jam 8.30 malam. Jam 8 malam, saya sudah siap-siap dan ganti ke surgical gown. Lalu didorong dengan bed menuju ruang operasi.
Saya menunggu dulu di ruang pemulihan entah karena apa, ada juga pasien yang belum sadar setelah operasi. Sekitar jam 8.40 saya mulai didorong masuk dan sudah mulai ngefly alias ngga sadar karena sudah ada obat penenang yang dimasukkan ke infus.
Sama seperti lahiran kedua, saya hanya sadar sesaat saat twinnies ditempel di pipi sebentar. Tapi sebelumnya saya sudah menitipkan handphone agar ada dokumentasi karena lahiran ini rencananya jadi lahiran terakhir.
Saya sadar di ruang pemulihan jam 11.30 malam dengan sakit kepala hebat sampai mau muntah. Agak kaget juga sebetulnya karena melihat dokter anestesi masih di ruang pemulihan dan sedang berbicara dengan dokter Liva.
Ndilalah tensi saya naik sampai 230 menjelang akhir operasi. Menurut dokter anestesi, setiap mau membawa saya kembali ke alam sadar, tensi pasti langsung naik. Akhirnya malam itu saya ngga bisa balik ke kamar rawat, tapi harus dimonitor dulu di ruang IMCU alias Intermediate Care Unit. Tekanan darah saya harus terus dimonitor dan itu tidak bisa dilakukan di kamar rawat biasa.
Di IMCU saya ngga bisa tidur, selain luka operasi yang mulai nyut-nyutan, suara dari monitor, suara pasien lain dan perawat yang hilir mudik juga cukup mengganggu. Bagi yang belum pernah masuk ICU atau IMCU sebelumnya, IMCU di RS Mitra Keluarga Kemayoran memang berisi satu pasien per kamar, tapi dindingnya adalah kaca setengah badan dan pintu full kaca. Jadi saya bisa lihat dengan jelas kesibukan para perawat yang sedang jaga.
Saya baru bisa ke ruang rawat tanggal 11 Desember di siang hari. Deket-deket makan siang deh pokoknya. Dan saya langsung tidur karena memang belum bisa tidur dari semalam.
Lalu si kembar bagaimana? Mereka dari sejak dikeluarkan dalam perut Alhamdulillah sudah bisa masuk ruang bayi tapi untuk susu, memang diberikan sufor karena gula darah rendah dan ASI saya belum keluar.
Jadi apa yang menyebabkan tekanan darah saya begitu tinggi? Menurut dr. Liva, saya terkena preeklampsia, karena protein urine saya +3, lalu bengkak di kaki dan wajah saya ternyata retensi air, bukan sekedar kekurangan kalium atau protein. Pantas saja, bengkak-bengkak di TM3 ngga berubah meski sudah konsumsi Royalbumin si ekstrak ikan gabus. Padahal di TM 2 baru 3 hari konsumsi, bengkak di kaki sudah mereda.
Selain itu dr. Liva juga bilang kalo saya terkena vasculitis alias radang di pembuluh darah, kemungkinan besar karena penyakit autoimun yang saya idap. Hal yang juga diamini oleh dokter Metta Yani, spesialis syaraf yang saya temui dari rekomendasi dr. Liva karena sakit kepala yang masih belum hilang bahkan hampir 1 bulan setelah melahirkan.
Terus apa dong yang beda?
Yang berasa banget di saya adalah kurangnya suster yang berjaga di kamar rawat. Saya maklum sih karena RS Mitra Keluarga Kemayoran ini juga jadi salah satu rumah sakit rujukan COVID-19, jadi mungkin ada tenaga kesehatan yang biasanya tugas di kamar rawat biasa, dipindah ke kamar rawat COVID – 19. Selain itu, menu makanannya terasa lebih enak dibanding 2 tahun lalu hehe.
Terus, setelah lahiran SC untuk yang ketiga kalinya, sakit ngga sih udahnya? Well, sakit sih memang karena disayat, tapi tidak sesakit persalinan pertama atau kedua. Malah saya merasa lebih cepet pulih, begitu sampe rumah udah langsung mengurus twinnies sendiri karena belom ada yang berani megang. Maklum, berat badan mereka hanya 2,3kg dan 1,9 kg saat lahir, pas dibawa pulang malah hanya 2,2kg dan 1,8kg.
Punya anak itu memang mahal ya..padahal ini baru starting point.
Next akan kushare kenapa saya lebih cepat pulih di persalinan ketiga ini.